Aku Wong Jowo
Bahasa Jawa Tulis, makin sedikit digunakan, makin banyak orang yang salah tulis. Apalagi makin sedikit pula bahasa daerah ini diajarkan di sekolah sebagai muatan lokal bahasa daerah (di Jawa tentu). Tak ayal bahwa penulisan bahasa Jawa makin kacau. Penulisan yang benar jauh lebih jarang ditemui karena pemakai semakin ragu-ragu tak tahu arah, mana penulisan yang benar. Salah satu kesalahan paling umum adalah penulisan dengan A dengan O. Sebagai tambahan, dalam tatanan bahasa Jawa, sebenarnya huruf A aslinya harus diucapkan sebagaimana mengucapkan "o" dalam kata "kotor", huruf A ini disebut sebagai A jejeg, mungkin lebih mudah dimengerti sebagai A default. Contohnya: -Jawa dibaca 'Jowo' -Surabaya dibaca 'Suroboyo' -Lima dibaca 'limo' Sedang ucapan yang lain disebut A miring sebagaimana huruf A yang umum dipakai dalam bahasa Indonesia. Dalam pelajaran bahasa Jawa di masa lalu, saat penulis masih di Sekolah Dasar (dahulu Sekolah Rakyat), "A miring" atau "A bahasa Indonesai" ditulis dengan titik dibawahnya, bisa juga dengan garis bawah. Contohnya: -mangan, prawan, papan dll. Sebagai usaha memperkenalkan penulisan yang benar, maka dibuatlah suatu grup dalam suatu media sosial yang secara umum ingin melestarikan budaya Jawa dan salah satu diantaranya adalah menyebarluaskan penulisan bahasa Jawa yang benar, yang baku. Tentu semula saya berpikir, hal itu meskipun tidak terlalu mudah, tetapi tentu tidak sulit. Ternyata di dalam usaha memperkenalkan "kebenaran" ini (maaf) luar biasa sulitnya. Penolakan itu pada umumnya disebabkan karena berbagai hal, antara lain adalah: - Tidak pernah mendapat pelajaran bahasa Jawa tulis - Tidak pernah tahu tulisan huruf Jawa - yang sering disebut sebagai huruf hanacaraka ("a" diucapkan sebagaimana pengertian "A jejeg") - Sangat jarang atau bahkan tidak pernah membaca tulisan resmi berbahasa Jawa yang benar
Dalam kehidupan sehari-harinya penulisan yang salah itu malah yang selalu "tampak", misalnya pada spanduk, titel kaset, subtitel karaoke, dalam tulisan-tulisan saat berkomunikasi melalui sms atau sejenisnya. Maka sangatlah sulit merubah kebiasaan itu. Bahkan dalam tulisan-tulisan resmi di kota-kota di Jawa Tengah dan Timur, kesalahan itu, seperti sudah menjadi kebenaran, misalnya:
Saya yakin, nama aslinya Dipanegara, bukan Diponegoro
a. Nama tokoh Nasional: Dipanegara - sudah diubah menjadi Diponegoro
b. Nama kota: Mojokerto seharusnya ditulis Majakerta - kan disana ada kerajaan Majapahit - bukan Mojopahit)
c. Nama jalan: di Mojokerto ada jalan Soka (tumbuhan Soka) tetapi karena kesalah pahaman ini maka ditulis menjadi jalan Sooko, dan itupun dipakai sebagai nama "resmi" dari sekolah (SMA) yang terbaik di Mojokerto.
Tidak pernah mengaitkan antara kata dasar dengan kata berimbuhan. Banyak sekali contoh yang menunjukkan bahwa suatu kata berimbuhan HARUS ditulis dengan huruf A, bukan O. Namun karena tidak pernah merasa ada hubungan tersebut maka seolah-olah kata yang berimbuhan itu sebuah kata dasar baru. Salah satu contoh yang sangat gamblang (dan lucu) adalah pada makian (maaf - ini saya pakai karena adalah kata yang sangat populer). Yaitu makian matamu tentu kata dasarnya adalah mata bukan moto tetapi tetap saja, pada saat memaki menggunakan huruf A tetapi saat menulis kata dasarnya dia menulis "moto".
Padahal jika kata moto + mu seharusnya menjadi motomu dan dalam kaidah bahasa Jawa tidak ada kata "moto + mu" menjadi matamu, sama sekali tidak ada.
Juga misalnya pada kata
pasti berasal dari kata jawa + i. Mustahil jika kata njawani asalnya dari kata jowo.
Sebagai contoh terakhir adalah kata dawa (panjang) jika ditambah dengan ke+dawa+an menjadi kedawan (terlalu panjang), bisa dipastikan kata kedawan itu berasal dari kata dasar dawa bukan dowo.
- Referensi terakhir yang paling inkonvensional, adalah mendengarkan dan memperhatikan bagaiaman cara masyarakat Brebes, Tegal, Banyumas mengucapkan kata-kata yang salah tulis itu. Masyarakat di daerah itu hanya memiliki satu bunyi huruf A. Jadi mereka mengucapkan dawa ya dAwA bukan sebagaiman orang Jawa Jogja mengucapkan dawa.
Namun meskipun sedemikian banyak contoh dan argumen yang kita ajukan, toh mereka masih "ngotot" mempertahankan kesalahan itu. Salah satu penolakan yang agak aneh adalah "Ini dialek daerah saya!". Dan alasan penolakan yang lebih aneh: "Yang penting sama sama ngertinya" Ya, benar, memang sama sama mengertinya, karena yg diperbincangkan adalah kejadian sehari-hari - pada saat memperbincangkan sesuatu yang lebih serius misalnya tentang keilmuan, tentu mereka tak bisa lagi menulis dengan benar dan kalaupun ada, tulisan yang benar tak akan bisa mereka tangkap dengan tepat. Anehnya cukup banyak diantara mereka yang selalu mengajak mari kita lestarikan busaya Jawa -
Tak jelas apa yang akan dilestarikan, yang salah itu atau yang benar.
Pertanyaannya kemudian
Maka teringatlah saya dengan sebuah slogan salah tulis, tetapi sangat populer beberapa waktu yang lalu:
Wah.....jangan-jangan ......
Keliatan sepele ya gan? Namun masalah yang sepele ini telah merusak kebudayaan Jawa yang dibangun sejak 1600 tahun yang lalu. Bagi agan & sista dari suku lain, peliharalah budaya kalian baik2 sebelum rusak seperti budaya kami
Kidung Hanacaraka - Orchestra
Sindy Purbawati, Pancal 15
ČeštinaDeutschEλληνικάEnglish (US)English (UK)Español (ES)Español (MX)Françaisहिन्दीBahasa IndonesiaItaliano日本語한국어NederlandsPolskiPortuguêsPortuguês (BR)РусскийTürkçe中文繁體中文
Wong Jowo Ojo Ilang Jawane
Sindy Purbawati, Pancal 15
Terjadi kesalahan. Tunggu sebentar dan coba lagi.
November 22, 2023 1 Song, 5 minutes ℗ 2023 Kedhaton Musik